Trennews.co,Bandar Lampung- Proses pengolahan kopi secara tradisional dibutuhkan kesabaran dan tenaga yang kuat untuk mengolah biji kopi sampai menjadi bubuk kopi dan kopi yang siap diminum,(01/10/20).
Jaman dulu Nenek Moyang kita mengolah kopi masih menggunakan peralatan tradisional yang membutuhkan proses panjang. Dimulai dengan memetik biji kopi di pohon, dipilih hanya biji kopi yang berwarna merah segar.
Biji kopi pilihan lantas dijemur sampai kering, selanjutnya disiapkan sebuah lumpang atau lesung dan alu. Biji kopi kering dimasukkan ke dalam lumpang, ditumbuk sampai biji kopi terkelupas dari kulit. Biji kopi dipisahkan dengan tampah, untuk memilah antara kulit dengan biji kopi atau green bean.
Biji kopi berbentuk green bean juga disangrai dengan alat tradisional. Sebuah wajan berbahan gerabah disiapkan di atas tungku berbahan bakar kayu. Lantas biji kopi disangrai dengan bara api sedang, sampai biji kopi menjadi coklat kehitaman. Selesai disangrai, biji kopi didiamkan di wadah dalam suhu kamar.
Selanjutnya, biji kopi kembali ditumbuk di dalam lesung. Biji kopi ditumbuk sampai halus, kemudian disaring menjadi bubuk kopi halus dan siap diseduh. Proses membuat bubuk kopi terlihat sederhana namun menguras tenaga dan kesabaran selama memprosesnya.
Lumpang dan Alu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Lumpang mengalami perubahan dari awalnya berbahan kayu. Bahan baku kayu yang di gunakanpun tak sembarangan, hanya jenis kayu jati, lamtoro dan kayu karet pilihan. Hanya kayu bertekstur keras dan padat tak berongga yang cocok menjadi lesung.
“Dipilih kayu yang keras, kayu yang sudah nggalih,” kata Komar dalam penjelasannya. Kayu galih dipilih agar lesung tak berubah teksturnya, tak pecah dan berongga sehingga akan menyulitkan saat penumbukan. Kayu pilihan itu lantas diolah, di tengahnya dibentuk bulat seperti cekungan mangkok. Berfungsi sebagai tempat penumbukan biji. Lantas, pada 1980-an masyarakat beralih menggunakan lesung berbahan baku batu kali.
Sedangkan menyangrai, menggunakan wajan berbahan dasar geragah. Gerabah diletakkan di atas tungku dengan bahan bakar kayu. Kayu bakar dipilih spesifik kayu yang tidak mudah menjadi abu. Kayu bakar yang dipilih kayu yang cocok untuk arang, kayu dibakar sampai mengeluarkan bara.
“Kayu dibakar sampai membara. Baru biji kopi diletakkan di dalam wajan gerabah dan diaduk secara terus menerus.” Pengaduk pun harus menggunakan pengaduk berbahan kayu, bukan besi.
“Zaman Ibu saya, kopi yang sudah disangrai diangin-anginkan atau dibiarkan saja. Sampai tidak keluar asap.” katanya
Perkembangan teknologi, turut mengubah proses dan penyajian kopi. Peralatan pengolahan biji kopi semakin modern. Biji kopi yang sudah disortir dimasukkan ke dalam mesin sangrai. Proses di dalam mesin sangrai, sama dengan proses menyangrai menggunakan kayu bakar. Namun, untuk mengolah tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengaduk biji kopi terus-menerus.
Mesin berputar agar kopi matang merata. Setelah disangrai, biji kopi yang hitam kecoklatan dimasukan ke dalam penggiling, “atau bisa di haluskan pakai grinder kopi manual seperti yang saya kerjakan ini, dari biji kopi yang sudah di sangrai sampai coklat kehitaman, setelah didinginkan beberapa saat, kemudian digrinder sampai menjadi bubuk kopi yang siap diseduh” ujar Komar.
Proses pengolahan kopi zaman sekarang jauh efektif dan efisien, pengrajin kopi tak perlu menumbuk biji kopi secara manual dengan tangan.
Semua diproses modern, lebih praktis. Alat produksi untuk menyangrai dan menggiling biji kopi menjadi jalan alternatif dalam mengolah kopi sampai menjadi bubuk kopi. Meskipun tak sedikit konsumen yang tetap memilih pengolahan kopi secara tradisional. Sebagian menganggap kopi yang diolah menggunakan cara tradisional menghasilkan mutu kopi yang lebih bagus.
“Bisa saja 10 tahun kedepan kopi hasil sangrai mesin tak digemari masyarakat, dan beralih kembali ditumbuk pakai lumpang dari kayu atau batu,” kata Komar menjelaskan, sambil menerangkan tehnik menyedu kopi yang memiliki unsur keindahan yang tinggi
“Teknik tradisional atau modern mempunyai eksotika dan ciri khas masing-masing. Kedua metode memberikan ragam sensasi yang berbeda dalam menikmati kopinya” Ujar Komar mengakhiri. [SBY/RED]